DIA DAN SENJA
Jam yang melingkar dipergelangan tangan dia telah menunjukan waktu sore pada pukul 17.30, pertanda hari itu memasuki senja, sesaat lagi menjemput magrib menuju malam. Dia pada pukul 17.30 itu duduk sendirian, menatap mentari di senja itu yang perlahan menyembunyikan diri dari bumi, dia menatap laut dari tepi pantai tempat dia sedang duduk. Pikirannya jauh melayang, berpikir tentang nasib hidup, sebuah masa dimana dia harus berada pada nasib yang baik, dia menatap sambil berpikir tentang masa depan, hari esok yang masih tersembunyi dari perjalanan hidup.
Dia terus saja menatap dan berpikir, sementara senja itu telah hilang, mentari telah tiada diwaktu itu dan dia masuk dalam kegelapan bumi, dia telah ada bersama malam. Pikirannya belum kembali dari sebuah perjalanan tentang masa depan, dia turut saja arah jalan pikiran itu hingga tak sadar bahwa dia ditepi pantai dalam kesendirian digelap malam. Dia masih saja bersahabat dengan pikiran tentang masa depan, dia terus larut didalamnnya sampai dia tahu dan dia pastikan bahwa masa depan yang harus dia impikan untuk dikejar.
Dia terus mengikuti alur yang berjalan di otaknya sampai dia harus memilih sederetan pilihan tentang masa depan. Menentukan pilihan adalah sebuah keputusan matang yang nantinya dia harus berjuang sekuat tenaga dan menjalani untuk mencapainya. Dia membiarkan dirinya ditemani malam, rasa takut tak ada di benaknya, pikirannya terus berputar mencari sebuah pilihan tentang masa depan yang harus dia putuskan. Tak sadar bahwa dia sedang berada ditepi pantai, pada malam yang menemani dirinya dalam kesendirian dengan sebuah pencarian tentang masa depan yang ada dalam pikiran dia.
Waktu terus berputar dalam iramanya, dia pun terus larut dalam pikiran, sebuah angan yang belum menemukan titik batas. Detakan jarum jam yang berbunyi pelan tak dia sadari, seakan masa depan itu satu-satunya fokus pikiran yang dia arahkan. Akhirnya dia pun sampai pada sebuah keputusan atas sekian deretan pilihan tentang masa depan.
Disaat bersamaan dia pun sadar bahwa hari sudah gelap, kesunyian menyelimuti alam tempat dia sedang berada. Bergegas dia bangkit dari tempat duduk, mengayunkan langkah untuk kembali pada kehidupan yang sebenarnya, sambil membawa bingkisan kecil yang dia dapati dari penelusuran pikiran tentang masa depan, tentang apa yang harus dia jalani dan terus dia perjuangkan. Sambil berjalan perlahan, dia mengumpulkan tenaga dan tekad sekuat mungkin untuk mengikuti keputusan atas pilihan tentang masa depan. Dia harus berjuang, dia harus menjalani apapun resiko yang akan dia hadapi didepan sana, apapun kerikil dan duri yang menghantan nanti, dia tidak alan kalah dan menyerah dengan semua itu. Teruslah dia berjalan untuk kembali ke rumah, tempat dia harus memulai semua itu. Ditengah langkah yang terayun pelan dan terasa sedikit membeban yang membuat berat, tapi keputusan tetaplah keputusan. Sebab keputusan itulah yang nantinya dia jalani dan dia hidupi. Dia tidak akan membiarkan putaran waktu berjalan tanpa ada sesuatu yang terisi untuk impian yang telah dia ambil, dia tidak mau lagi waktu itu terus berputar tanpa makna bagi dia. Dia berjanji pada diri untuk tidak mau menoleh kembali bekas sampah kehidupan yang pernah dia lewati, dia tidak mau lagi menyia-yiakan waktu untuk pergi begitu saja. Dia mau mengisi sesuatu bagi diri dan bagi kehidupan dihari mendatang. Malam itu semakin larut dan terus menemani dia dalam perjalanan pulang, hingga pukul 21.00 dia pun tiba kembali dirumah.
Perlahan dia masuk kedalam rumah, menembuskan langkah menuju kamar, tempat dia bergelut dengan diri dan dengan hidup. Dikamar itu ada sebatang lilin yang belum disentuh api diujungnya, dia meraih lilin itu dan berjalan keluar rumah menuju sebuah gua, tempat dia harus menceritakan tentang semuanya pada Sang Bunda, ibu yang sungguh dekat dan memahami semua seluk beluk hidup dia. Setibanya digerbang masuk dalam taman doa Gua Maria, dia pun menghentikan sejenak langkah sambil menatap dari kejauhan wajah Sang Bunda, ada senyum terpatri di wajah Bunda, seakan sedang menunggu kehadiran dia, ada uluran tangan Sang Bunda memanggil dia mendekat untuk dirangkul dalam pelukan hangat penuh cinta kasih dari Ibu Tuhan, Sang ibu yang memahami tentang pikiran dia. Dengan langkah perlahan dia menuju mendekat Sang Bunda, rasa haru bergejolak dalam bathin dia, membuat mata sedikit meneteskan air mata, seakan semua yang terjadi di senja itu meluap tanpa kendali. Kisah senja itu kini dia bawa dihadapan Sang Bunda untuk di ceritakan dan berharap Bunda menolong dia untuk menjalani dan terus berjuang. Seakan dia meminta Bunda sebagai teman dekat untuk menemani dia menjalani keputusan pikiran yang telah dia bulatkan saat senja itu belum berlalu. Akhirnya dengan sebatang lilin ditangan, dia bertelut dan sujud di depan Sang Bunda. Lilin itu dibakar dan diletakan didepan, sambil dia memulai sebuah cerita tentang masa depan kepada Sang Bunda. Sang Bunda dalam kesunyian tak langsung membalas cerita dia, tapi pasti bahwa Bunda sedang mendengar dan akan menolong. Curahan rasa hati yang ada dibathinnya keluar begitu saja, seakan percaya sungguh bahwa Bunda setia mendengar. Tanpa sadar dan tak terasa dua jam dia berada di Gua itu dalam kesendirian ditengah malam dalam taman doa. Semuanya telah dia luapkan dihadapan Sang Bunda, dia menutup cerita itu lalu bangkit bergegas menuju rumah. Perjalanan pulang terasa tak ada beban yang dia pikul, langkah cepat diayunkan pertanda bahwa dia akan berjuang dengan pertolongan Sang Ibu Tuhan. Ketika langkah keluar dari gerbang taman doa, rasa lapar pun hadir membisikan bahwa tenaga dia telah berkurang, dia harus kembali dan mengumpulkan tenaga untuk memulai semua itu. Tibalah dia di pintu rumah dengan sebuah semangat yang bergelora dalam tubuh, seakan mengajak dia untuk bertarung tentang masa depan. Makanan yang tersaji di meja makan diruang tengah itu, dia habisin untuk mengembalikan tenaga yang berkurang karena pergi bersama pikiran disenja menuju malam itu. Selesai makan dia pun menuju kamar, membaringkam seluruh tubuh dalam rebahan yang dibalut pelukan selimut dalam kehangatan malam itu. Pagi pun menjeput dia harus bangun dari tidur untuk memulai semuanya tentang masa depan. Hari-hari hidup selanjutnya dia larut dalam pertarungan dan perjuangan untuk mencapai apa yang dia dapatkan di pantai itu dan yang telah dia ceritakan dihadapan Sang Bunda. Itulah dia yang memulai semua tentang masa depan, yang berawal dari kesendirian di pantai pada senja itu. (Alfons H)
Komentar
Posting Komentar