SI TUA DAN GUBUK
Di sebuah desa hiduplah sepasang suami istri, mereka tidak punya anak, keduanya adalah petani. Hari-hari hidup dijalani dengan penuh kasih sayang diantara suami istri, saling memahami, saling menerima dan saling melengkapi adalah menu yang disajikan saban hari diantara keduanya. Kemana saja dan dalam kerja apa saja selalu bersama-sama, kecuali salah satunya sakit atau ada halangan lain yang membuat tidak bisa bersama-sama. Runinitas hidup bersama ini dijalani tanpa ada kekerasan atau sikap kasar diantara keduanya, sesekali ada nada suara dari suami yang sedikit tinggi tapi itu bukan kemarahan melainkan karena pendengaran si istri sedikit mengalami gangguan saraf pendengaran.
Kehidupan keluarga mereka boleh dibilang bahagia walau secara ekonomi mereka banyak kekurangan, tetapi kekurangan ini tidak menjadi penghalang untuk merajut kasih sayang dan cinta dalam kehidupan keluarga mereka. Rasa kasih dan sayang selalu mereka tunjukan dalam kebersamaan, baik dalam situasi yang menyenangkan maupun dalam situasi yang menyakitkan. Semua situasi dirasakan secara bersama sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan satu sama lain. Walau demikian, hidup itu dijalani oleh manusia dengan berbagai situasi atau keadaan, tetapi penentuan akhir antara kehidupan dan kematian ada di pihak Tuhan. Pada usia pernikahan mereka mencapai 25 tahun, si suami dipanggil Tuhan. Kepergian si suami dalam peristiwa kematian ini membuat si istri merasa kehilangan segala-segalanya. Seakan ritme hidup bersama yang sudah tertata sekian puluhan tahun dalam kebersamaan dan kasih sayang yang terajut dalam kurungan waktu sekian tahun itu hilang, sirna, pergi bersama bumi yang membungkus raga suami dalam keabadian. Irama hidup yang dijalani dalam kebersamaan kini tak lagi hadir dalam kehidupan si istri, yang dalam kebathinan terasa hancur lebur tetapi mau tak mau kenyataan ini harus diterima dan dijalani. Kepergian suami untuk selamanya adalah duka yang mendalam bagi istri, sebuah kepahitan yang tak harus dihindari, sebuah kehancuran bathin yang sungguh amat dahsyat terasa dan tangisan histeri yang tak mampu dibendung, akhirnya air mata deras mengalir membasahi seluruh tubuh istri bagai hujan sepanjang malam tak hentinya. Kini hari-hari hidup si istri dilalui dengan kepahitan rasa dan kehancuran hati yang begitu membekas. Dia lalui lorong-lorong hidup dalam kesendirian, melewati lintasan dengan krikil-krikil tajam yang menusuk hingga lubuk nurani. Dia hidup dalam kesendirian digubuk tua tempat kasih sayang dirajut dan dibentuk selama bersama suami, juga tempat yang membuat dia harus melewati hidup penuh kerapuhan dan ketakberdayaan. Setahun sudah kepergian suami dialam baka, si istri coba berusaha memampukan diri melupakan semua kisah cinta yang terjalin waktu itu, dia coba menyusun puing-puing hati yang hancur itu dengan menatanya perlahan tapi pasti mengikuti irama waktu yang menghantar dia menjalani sisa hidupnya.
Dia tinggal sendirian dirumah itu, gubuk tua menemani dia dalam ketuaan umur menanti panggilan terakhir dari sang Khalik menghadap kehadirat-Nya. Dalam keletihan dan kerapuhan karena ketuaan umur, dia coba merangkak dalam sisa hidupnya dengan tangan yang lesu dan kaki yang gemetar. Dia melewati jalur dikehidupan hariannya dengan perlahan tenang dan damai pada dirinya sendiri. Sesekali dia harus pergi menemui suami dialam baka lewat kunjungan mesra dikubur itu tapi hancur dalam rasa yang kuat bertahan hingga air mata menetes jatuh diatas bebatuan yang tersusun membentuk kubur itu. Luka bathin terasa sakit menusuk hingga sum-sum, tapi itu kenyataan hidup yang harus dia terima dan dia jalani. Hanya kata yang terucap dari bibir tua gemetar dalam doa yang dipanjatkan kepada Sang Pemilik kehidupan untuk peristirahatan kekal sang suami. Doa yang keluar dari nurani yang terluka dan bibir yang gemetar, doa yang terucap beriringan dengan derasnya air mata yang mengalir membasahi pipi. Kembali memorinya berputar tentang kebersamaan yang pernah mereka jalani dan hidupi. Air mata semakin deras mengalir tanpa ada penghalang hingga sekujur tubuhnya basah, dia hanyut dalam luka hati yang kian membengkak. Kini dia harus makan sendiri, duduk sendiri, bekerja sendiri dan jalan sendiri, semuanya dibuat dan dikerjakan dalam kesendirian. Dijalani irama kesendirian hingga tiga tahun berlalu, kini dalam ketuaan dan kerapuhan raga dan fisik, ia lemah berbaring tak berdaya. Dia tidak bisa berbuat sesuatu lagi, dia pasrah dalam keadaan dirinya yang tua, hingga Tuhan memanggil dia menghadap hadirat-Nya. Si istri itu pun meninggal digubuk tua yang hampir saja rubuh. Dia menenangkan diri dan berbaring tak bernyawa. Semuanya selesai di dunia ini dan dia kembali bertemu dengan sang suami untuk menjalani kisah kasih sayang mereka dikehidupan kekal bersama Allah. (Alfons H)
Komentar
Posting Komentar