KU IKUTI JALAN-NYA
Saya anak tunggal, seorang anak yatim, dibesarkan oleh ibu sejak kematian ayah, pada usiaku yang masih kecil, berumur 6 bulan. Semua tentang ayah, saya ketahui dari cerita ibu dan keluarga. Ibu seorang petani, setiap hari kesawah sehingga tempat bermain saya sejak kecil adalah disawah dan ditemani ibu. Sawah inilah satu-satunya tumpuan harapan kehidupan kami berdua. Ibu menanam banyak tanaman selain padi dan jagung, sehinga setiap hari pasar, saya dan ibu selalu pergi menjual sayur-sayuran dan hasil sawah yang lain.
Pekerjaan ini saya jalani bersama ibu sampai saya tamat sekolah dasar, dan ibu berniat menyekolahkan saya pada sekolah lanjutan pertama. Secara pribadi saya tidak mau lanjut sekolah karena kasihan pada ibu yang sendirian tiap hari harus ke sawah, mengurus hidup kami dalam keluarga, lagi pula saya harus sekolah ditempat yang agak jauh karena sekolah terdekat di desa itu tidak ada. Saya tingal dengan orang, yang kebetulan kenal baik dengan ibu waktu mereka masih muda. Akhirnya saya harus pergi tinggalkan ibu demi sebuah mimpi dihari esok. Hari-hari dalam minggu pertama saya selalu sedih dan menangis karena jauh dari ibu dan selalu ingat akan ibu sendirian dirumah yang harus berjuang untuk membiayai hidup kami dan membiayai sekolah saya. Untuk mengurangi rasa ini, setiap kali ada liburan sekolah, saya harus pulang kampung bertemu dengan ibu dan untuk membantu ibu disawah. Selama dimasa pendidikan ini, saya selalu berusaha agar ibu tidak boleh tahu tentang kekurangan yang saya alami atau rasakan. Saya hidup bersama orang lain yang tidak ada hubungan keluarga, hanya bermodal kenalan dengan ibu waktu itu. Dikeluarga ini saya berusaha menunjukan sikap dan perbuatan yang tidak mengecewakan mereka karena takut ibuku merasa malu kalau sikap atau perbuatan yang tidak baik didengar atau diketahui oleh ibu. Setiap kali pulang kampung, ibu selalu menanyakan tentang kebutuhan saya selama disekolah dan tentang kehidupan saya bersama keluarga yang saya tinggal.
Tidak terasa tiga tahun berlalu saya berada di bangku sekolah lanjutan tingkat pertama. Setelah tamat SLTP ibu ingin supaya saya melanjutkan pendidikan pada Sekolah Lanjutan Atas (SLTA), tapi hati kecil saya tidak mengiyakan keingainan ibu, karena saya kasihan pada ibu yang sendirian saja bekerja di sawah. Saya sampaikan kepada ibu bahwa saya tidak mau melanjutkan pendidikan, saya pingin bantu ibu dirumah dan disawah. Tetapi ibu menolak permintaan saya dan memaksa saya harus lanjutkan sekolah. Dalam problema hati yang dirundung sedih karena ibu sendirian, saya turuti permintaanya. Saya melanjutkan pendidikan di sekolah lanjutan atas (SLTA), ditempat yang sama karena sekolah SLTA bersebelahan dengan SLTP. Pada SLTA inilah saya bertemu dengan para suster karena sekolah ini adalah milik yayasan suster. Ada suster yang mengajar di sekolah ini, sehingga hampir tiap hari saya bertemu dengan mereka dan cerita-cerita seputar panggilan hidup membiara khususnya menjadi seorang suster. Benih panggilan seakan tumbuh bersamaan dengan pertemuan dengan para suster di sekolah. Rasa tertarik dan punya niat untuk menjadi suster pun mulai ada dalam diriku. Tetapi dalam rasa dan niat itu, saya kembali pada kondisi hidup saya dan ibu, terlebih ingatanku pada ibu yang sendirian dirumah yang setiap hari berjuang sekuat tenaga demi membiayai hidup saya dan sekolah saya. Selama tiga tahun menempuh pendidikan di SLTA, niat dan rasa tertarik mengikuti jalan hidup membiara terpatri kuat dalam nuraniku yang terdalam. Akhirnya setelah menyelesaikan ujian akhir kelas tiga, saya pulang kampung bertemu dengan ibu dan menyampaikan niat saya ke ibu.
Ternyata diam-diam ibu juga punya rencana yang sama seperti apa yang saya rasakan. Ibu mendukung dan mendoakan niat dan rasa ini, yakni masuk biara menjadi seorang suster. Sejak sekolah dasar saya sudah berjanji pada diri supaya berusaha memberi yang terbaik buat ibu, atau paling tidak apa yang ibu inginkan dari saya, sebisanya saya mengikutinya demi sebuah senyum indah yang terpancar dari wajahnya yang begitu tulus mengasihi dan menyayangi saya. Saya melamar ke salah satu biara suster dan diterima. Ketika hendak ke biara, saya meminta ibu sendiri menghantar untuk masuk biara. Betapa sedih hati saat itu ketika sudah dalam biara dan ibu pamit untuk kembali kerumah. Kami dua berpelukan sambil meneteskan air mata tanda kasih sayang seorang ibu dan anak, juga tanda bahwa saya harus siap diri untuk tidak bertemu dengan ibu dalam beberapa tahun selama mengikuti pembinaan dan pendidikan dalam biara. Setelah melewati prosea dan tahapan pembinaan dalam biara, saya diterima oleh konggregasi untuk mengikrarkan kaul pertama. Tibalah hari untuk saya menerima kaul pertama, ibu bersama keluarga datang untuk mengikuti upacara pengikraran kaul, selama upacara itu saya melihat ibu sedang dalam sebuah rasa bahagia yang terungkap lewat air mata selama upacara itu berlangsung. Saya coba berusaha menahan rasa dalam hati ketika melihat ibu meneteskan air mata. Kami berdua seakan sedang dalam rasa hati yang sama saat itu. Selesai upacara kaul, saya bergegas memeluk ibu dan meluapkan air mata bahagia pada dia yang berjuang dan berkorban sekian tahun demi sebuah masa depan yang memberi senyum dan bahagia pada dia. Ibu rela saya ikuti jalan panggilan Tuhan, sebuah lorong khusus yang membimbing saya berjalan bersama Tuhan sambil memanjatkan doa pada sang ibu yang sendirian dirumah dan sang ayah yang telah lebih dahulu menghadap hadirat Bapa disurga. Kini aku seorang suster, mengikuti jalan-Nya, dia yang mengetuk hati dan memanggil saya untuk bersama DIA dalam pelayanan kasih. ( Alfons H).
Komentar
Posting Komentar