KU JALANI DENGAN HATI YANG TERLUKA
Ketika saya duduk dibangku Sekolah Menengah Atas (SMA) pada kelas tiga, saya berkenalan dengan seoramg laki-laki, sebut saja namanya Okto. Dia beragama protestan dan saya sendiri beragama katolik. Kami sama-sama satu angkatan hanya beda jurusan, saya jurusan matematika dan dia jurusan Bahasa. Kami berkenalan dan menjalani pacaran semasa itu dan hari-hari disekolah kami selalu memberi perhatian dan mengungkapkan rasa kasih sayang diantara kami, maklumlah cinta dimasa SMA boleh dibilang "cinta Monyet" walau belum stabil dan matang tetapi rasa kasih sayang kami waktu itu sungguh kuat, walau kadang ada riak-riak kecil yang menghiasi hubungan kami. Kami jalani rasa kasih sayang ini sampai kami tamat SMA. Setamat SMA orang tuaku menginginkan saya kuliah, sehingga saya coba mencari-cari universitas terdekat dan sesuai jurusan pilihan bidang matematika, demikian juga Okto, orang tuanya juga ingin supaya dia melanjutkan pendidikan pada perguruan tinggi. Karena rasa yang sedang kami miliki dan karena kami sudah menjalani hubungan pacaran semasa SMA maka kami menyepakati untuk kuliah pada universitas yang sama, walau jurusan masing-masing. Setelah mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi, ternyata kami dua diterima pada universitas yang sama. Ditempat baru itu saya tinggal di sebuah kos, dan Okto juga tinggal disebuah kos tapi tidak terlalu jauh jaraknya. Tahun-tahun pertama dimasa perguruan tinggi kami jalani dengan baik-baik sambil membawa rasa yang telah kami rangkai dan kami tenun selama dimasa SMA. Kekuatan rasa ini membuat kami tetap saling mengasihi dan mencintai walau sibuk dengan urusan perkuliahan. Sampai pada suatu waktu, kami akhirnya jatuh dalam sebuah rasa yang begitu kuat daya tarik kemanusiaannya dan akhirnya kami terbuai dalam rasa kedagingan yang begitu kuat. Kami jatuh dalam sebuah pelanggaran hukum perkawinan, kami terlena dalam kasih sayang yang tidak ada jaraknya, kami hanyut dalam sebuah rasa yang adalah nafsu manusiawi. Seakan dunia rasa tak punya arti kalau tidak dibuktikan dengan melakukan "hal terlarang" itu. Saya hanyut dalam kekuatan rasa yang membuat saya tidak sanggup membendungnya dengan akal sehat. Saya hanyut dalam rasa cinta hingga akhirnya saya pun jatuh dalam pelukan hangat lewat sebuah tindakan yang sungguh amat menyakitkan. Sejak kejadian itu, saya terbawa pikiran, seakan sedang memikul beban dipundak yang rapuh dan lemah ini, antara tanggungjawab terhadap kuliah dan tanggungjawab terhadap kedua orang tua yang sungguh percaya bahwa saya sedang diperguruan tinggi meraih cita-cita, sebuah masa depan yang nantinya memberi senyum pada orang tua. Beban rasa ini senantiasa hadir menemani hari-hari hidupku di kos, memaksa diri ikut kuliah dengan beban akan perbuatan yang telah kulakukan.
Saya berada ditengah lautan dengan gelombang badai menghantam hidupku, antara melanjutkan perjalanan menuju tujuan atau membelok arah kembali kedarat, kembali kerumah. Aku luluh dan terporak-poranda dengan pikiran dan perasaan. Dalam situasi perasaan dan pikiran yang kacau dan tak teratur itu, saya dan Okto tetap menjalani hubungan seperti biasanya. Kami tetap saling memberi perhatian dan kasih sayang, seakan tanggungjawab dalam perjalanan cinta kami ke depan semakin nyata dan bahkan saya merasa semakin kuat, teguh dan kokoh.
Setelah sebulan kejadian "terlarang" itu saya merasa sesuatu yang sungguh amat aneh dalam diriku, ada rasa mual dan muntah-muntah dan sakit yang tidak jelas. Ada hal aneh yang saya rasa dalam diri, tetapi tidak pernah saya bayangkan bahwa keanehan itu adalah tanda "hasil dari perbuatan terlarang" itu. Setiap hari badan tidak enak, sakit perut dan lain-lain. Kondisi ini membuat saya harus memaksa Okto untuk antar saya ke rumah sakit. Kami kerumah sakit dan melakukan pemeriksaan, ternyata hasil pemeriksaan memfonis bahwa saya hamil. Hasil ini saya sampaikan ke Okto, dia begitu kaget dan seakan tidak percaya bahwa itu terjadi, raut wajahnya menunjukan sesuatu yang tidak bisa diterima, sesuatu yang bagi dia adalah aneh. Sejak itu saya melihat ada perubahan sikap dan sifatnya, teristimewa hubungan kami yang sebelumnya baik-baik saja, kini berubah semuanya.
Hari-hari sebelumnya kami saling kontak, saling memberi perhatian bahkan hampir setiap hari Okto bersama saya di kos, jarang dia pulang ke kosnya, tetapi kini perlahan semuanya itu tidak ada lagi, seakan sirna ditelan bersama fonis dokter tentang kehamilan. Dia jarang kontak, jarang ke kos dan bahkan setika saya hubungi lewat telp selalu saja ada alasan kerja tugas, kuliah dan lain-lain. Intinya banyak sekali alasan yang dibuat ketika saya coba menelpon, dan bahkan chat pun tidak pernah dibalas. Saya coba ke kosnya utk bertemu, ternyata dia sudah pindah ke kos yang lain. Perubahan sikap Okto membuat hatiku semain hancur lebur, tak tahu saya harus bagaimana? Dalam suasana hati yang hancur luluh, saya coba menyampaikan hal ini kepada orang tua, berharap kedua orang tuaku menerima apa adanya diri saya. Saya menyampaikan kepada mereka tentang semua yang kujalani dan kualami saat ini. Lewat telepon saya menyampaikan semuanya kepada mereka, dan dari nada suara ayah yang kudengar lewat telepon itu ada rasa jengkel, menyesal dan sungguh sangat emosi tetapi diakhir pembicaraan ayah menyuruh saya harus kembali ke rumah. Saya kembali kerumah bertemu ayah dan ibu dalam suasana hati yang hancur berantakan, kupluk erat ibuku dan meluapakan semuanya dalam tangisan yang telah kupendam sekian waktu. Kupeluk ibu dan ayah dalam rangkulan diriku yang penuh salah dan dosa, kurasa diri tak layak dihadapan mereka yang begitu tulus mengasihi dan mencintaiku, setia dan selalu berkorban untuk diriku.
Akhirnya saya diterima dan jalani hidup bersama ibu dan ayah dirumah, sambil menjaga si buah hati yang ada dalam rahimku. Hari-hari hidup bersama ibu dan ayah dirumah membuat hatiku yang hancur itu perlahan mulai pulih, saya melupakan semua kisah dan kebersamaan saya dan Okto, mulai melupakan dia, mulai menghilangkan dia dari hidupku. Aku bangkit dari keterpurukan dan merangkai hidup perlahan menuju ketenangan dan kedamaian bathin. Tiba waktunya saya bersalin, melahirkan anak yang walau tak ingin dia ada tapi kini harus saya terima kedatangannya dan harus kujaga dan kupelihara. Kedatangan si buah hati sedikit mengobati rasa dari kehancuran karena cinta terputus dijalan yang tak disepakati, sedikit mengobati luka yang pernah ada dan kni masih tersisa dalam nurani. Saya menemani si buah hati dalam kasih sayang sebagai seorang ibu baginya, curahan kasih dan cinta harus tulus pada dia yang adalah bagian dari perjalanan cinta yang pernah kurangkai. Hari-hari kulewati bersama dia dalam tawa dan cinta, dalam belaian dan rangkulan kasih sayang. Tapi satu hal yang mengganjal di nurani terdalam adalah bagaiamana kehidupan dan masa depan si anak ini dikemudian hari. Terbersit pikiran ini karena saya takut akan hidupnya yang kemudian sama seperti apa yang saya alami dan saya rasakan. Maka sebagai seorang ibu, saya harus mencari pekerjaan sebagai bentuk perwujudan kasih sayang bagi dia dikemudian hari, yang nantinya dia adalah anak yang baik dan sungguh amat berguna. Saya diterima bekerja pada salah satu rumah makan sebagai pelayan, dan saya berusaha setia dengan pekerjaan ini demi kebutuhan hidup saya dan si buah hati, walaupun saya tahu orang tua mampu dan bisa mengurus kehidupan kami. Saya menjalani pekerjaan ini selama hampir satu bulan, dan saya bertemu dengan seorang laki-laki, sebut saja namanya Vian. Dia adalah seorang guru PNS yang mengajar di salah satu sekolah, dekat dengan tempat saya bekerja. Awal pertemuan dan perkenalan, saya menceritakan semua keadaan hidup saya kepada dia. Saya menceritakan semua kisah dan sejarah kelam hidup yang pernah kulewati dan kurasakan, tapi jawaban dari Vian seakan membuat saya menaruh semua rasa padanya. Katanya dia menerima semua keadaan saya dan sepakat untuk kami jalani hubungan layaknya orang pacaran. Awalnya saya ragu dan takut karena masa lalu telah menghantar saya pada kelam dan gelapnya hidup, tapi perlahan saya melihat ada keseriusan yang muncul dari dirinya untuk menerima saya apa adanya. Kami jalani masa perkenalan (pacaran) selama 2 tahun 6 bulan, lalu Vian memberanikan diri memperkenalkan diri dan memberitahukan hubungan kami kepada kedua oramg tua saya dan Vian membawa saya kerumahnya untuk berkenalan dengan keluarganya. Dalam nurani terdalam saya brrsyukur dan berterima kasih kepada Tuhan karena dalam keadaan diriku seperti ini, masih ada yang mau menerima dan menempatkan diriku sebagai bagian dari hidupnya. Kami jalani hubungan ini dengan kasih sayang yang begitu kuat diantara kami, apalagi saya yang adalah seorang janda beranak satu. Rasanya dunia hatiku yang hancur waktu itu kini disembuhkan dengan kehadiran Vian dalam hidupku. Setelah melewati masa hubungan selama 4 tahun, kami memutuskan untuk menikah. Saya disuruh berhenti dari kerja dan mengurus anak-anak dan rumah tangga. Semua urusan persiapan menuju pernikahan berjalan baik-baik saja, bahkan kedua orang tua kami sangat mendukung sehingga apapun kekurangan yang kami alami atau rasakan selalu saja dibantu, hingga hari pernikahan itu pun tiba. Setelah menikah, saya dan Vian hidup bersama dirumah yang telah disiapkan oleh kami berdua sebelumnya, artinya saya dan Vian menjalani hidup rumah tangga dirumah kami sendiri terlepas dari orang tua. Tahun pertama pernikahan, rumah tangga kami baik-baik saja, walau ada persoalan kecil yang sering terjadi. Tetapi semua itu saya anggap biasa saja karena setiap rumah tangga pasti saja ada persoalan dalam hidup. Kini usia pernikahan memasuki tahun ke tiga, dan semua masih baik-baik saja. Sampai pada suatu waktu, pada siang hari saya mendapat khabar bahwa Vian dihantar kerumah sakit karena kecelakaan motor. Ada sebuah mobil yang bertabrakan dengan Vian ketika dia pulang dari sekolah. Saya bergegas menuju rumah sakit untuk bertemu dan melihat kondisi Vian. Saya begitu kaget ketika melihat kondisi Vian dalam keadaan yang sungguh parah, seketika tanpa sadar saya menangis histeri dirumah sakit. Dalam tangisan saya memohon Tuhan supaya Vian baik-baik saja. Dokter dan perawat sibuk sekali mengurus Vian, pertolongan medis dilakukan semampu mereka. Tapi Tuhan berkehendak lain, Vian tidak bisa tertolong dan dia mengeghembuskan nafas, pergi jauh tanpa ada kata akhir yang dia bisikan pada saya. Hatiku hancur luluh dan aku menjerit histeri atas kepergiannya. Hatiku yang dulu luka kini kembali hancur dengan kepergiannya. Mingkin hidupku terangkai dengan irama yang penuh luka, kujalani dengan letih menuju ketidakpastian. (Alfons H)
Komentar
Posting Komentar